Masih ingat kasus Ki Suk Han yang meninggal tertabrak kereta di subway New York akhir tahun 2012?
Ngeri ya, soalnya sebelum meninggal banyak orang yang melihat dia sedang
berusaha keluar dari jalur kereta, tapi ga ada satupun yang berusaha
menolongnya, malah ada yang sempat mengambil foto di detik-detik menjelang
kematiannya. Hal itu juga yang terjadi pada orang-orang yang melihat Kitty Genovese meninggal di
tahun 1964, hal tersebut dinamakan Sindrom Genovese atau “The Bystander
Effect.”
The Bystander effect secara ringkasnya yaitu keadaan dimana tak
ada satu orang pun yang menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan,
padahal di tempat tersebut banyak orang yang menyaksikan. Anehnya, semakin
banyak orang, semakin kecil kemungkinan mereka memberikan pertolongan.
Menurut kebanyakan ahli psikologi, ada 3 proses yang gagal
dilakukan orang-orang (the bystanders) yang menyaksikan kejadian gawat darurat, yaitu:
1. Gagal mengetahui ada tidaknya kegawatdaruratan
Contoh kecilnya saja, kegawat daruratan tidak akan mudah/cepat
diketahui bila orang disekelilingnya sedang asyik mengobrol bersama orang
lainnya.
2. Gagal menginterpretasi/ mentanfsirakan apakah kejadian
tersebut kegawatdaruratan atau bukan.
Misalnya, ada orang tergeletak di jalan, orang-orang akan
berpikir bahwa yang tergeletak itu cuma lagi mabuk teler aja, atau berpikir
bahwa orang itu akan baik-baik aja.
![]() |
The Bystander Effect, sumber: blog.lib.umn.edu |
3. Gagal mengambil tanggung jawab
Hal ini disebabkan karena orang-orang berpikir akan ada
orang lain yang lebih berkompeten menolongnya, atau mereka merasa tidak punya
kemampuan untuk menolong.
Adapun penyebab yang sering mendasari orang untuk tidak
menolong setelah mengetahui dan menafsirkan adanya kegawatdaruratan yaitu:
1. Rasa takut
Rasa takut untuk terluka atau bahkan terbunuh saat melakukan
pertolongan memang hal yang manusiawi. Contoh kejadian orang yang mengalami
nasib malang setelah menolong orang lain misalnya kasus Hugo Alfredo Tale-Yax
yang ditusuk sampai meninggal setelah menolong wanita yang dirampok di New York
tahun 2010. Juga kasus Peng Yu di China tahun 2006, yang dituntut membayar
kurang lebih $6,900 setelah menolong seorang nenek yang terjatuh dan kemudian
melapor ke polisi bahwa dirinya didorong oleh Peng Yu.
2. Rasa acuh tak acuh
Di Amerika ini, privasi seseorang menjadi hal yang sangat
dihormati oleh orang lain. Namun, hal itu juga yang akhirnya bisa menimbulkan
rasa acuh tak acuh terhadap sesama; apalagi di daerah perkotaan dimana kejadian The Bystander Effect ini sering terjadi. Orang perkotaan biasanya bersifat heterogen,
berasal dari daerah yang bermacam-macam, sehingga kemungkinan besar tidak
saling mengenal, dan kemungkinan untuk saling menolong pun menjadi lebih kecil.
Selain itu, orang perkotaan cenderung sangat menghargai waktu, sehingga disaat
ada kegawat daruratan mereka cenderung menghindari keterlibatan, yang nantinya
bisa mengarah ke masalah hukum, walaupun itu sebagai saksi, karena tak jarang urusan
pengadilan menyita waktu seseorang, ga cuma sekali atau dua kali ke pengadilan.
Bahkan, pernah ada kasus, entah bagaimana kejadiannya, dimana status saksi
dinaikkan jadi status tersangka karena tidak adanya tersangka lain.
3. Rasa diri tidak berkompetensi untuk menolong
Contohnya, saat ada kecelakaan lalu lintas dengan korban
yang berlumuran darah dan tidak sadarkan diri, orang akan cenderung menelepon
911, agar tim bantuan medis segera datang. Hal lainnya yaitu, ketika ada dua
orang laki-laki sedang bertengkar saling pukul, dan ada satu atau dua orang
orang wanita yang lewat, spontan wanita tersebut lebih memilih diam daripada
membantu melerai karena tak merasa mampu untuk melerai 2 orang laki-laki yang
dianggap lebih kuat.
2. Esmin Green, New York, USA, 2008
Sebagai manusia yang punya naluri untuk saling menolong,
khususnya sebagai warga Indonesia / Asia yang budaya saling menolongnya masih
kental, memang hal yang dilematis ketika kita sedang berada di lingkungan yang berbeda
dengan tempat kita berasal. Seperti halnya pepatah, lain padang lain ilalang,
lain lubuk lain ikannya, maka sebelum kita hendak berbaik hati menolong
seseorang di Amerika, ada baiknya kita berpikir dua kali. Contoh yang ringan
misalnya, saat berbelanja kita melihat orang lain yang barang belanjaannya
berjatuhan. Mengapa kita harus berpikir dua kali sebelum menolong orang
tersebut? Karena rata-rata orang di sini “mandiri”, tidak mau dianggap lemah,
walaupun itu lansia, sehingga bila kita menolong tanpa diminta, bisa-bisa orang
tersebut marah dan bilang, “It’s none of your business!” Masih mending bila
urusan tadi ga dibawa ke kepolisian.
Jadi, untuk amannya, yang bisa kita lakukan ketika ada kejadian
kegawat daruratan/ kejadian yang membutuhkan pertolongan lainnya, diantaranya
sebagai berikut:
1. Hindari untuk menyentuh orang atau barang dari orang yang
sedang membutuhkan pertolongan tersebut.
Terutama bila kita sendirian atau bila korban kecelakaan yang membutuhkan medis, karena bisa-bisa
dengan pertolongan kita, yang umumnya awam P3K, malah memperparah kondisi
korban tersebut.
2. Bila orang tersebut sendiri dan sadar penuh, tanyakan dahulu apakah
orang yang hendak dibantu itu benar-benar membutuhkan pertolongan kita atau
tidak.
Misalnya dengan pertanyaan seperti ini, “Do you need help?”
atau, “Are you okay?” Tidak usah menolong kalo mereka tidak minta/ tidak
mengizinkan kita untuk menolongnya.
3. Bila situasinya termasuk hal yang gawat darurat mengenai
nyawa seseorang dan kita merasa tidak bisa menolongnya, segera hubungi 911 atau aparat keamanan terdekat.
Tulisan ini dibuat bukan untuk mengajak agar tidak menolong
orang, namun berhati-hati bila hendak menolong orang di sini, karena budaya/
orang-orang/ lingkungan di sini berbeda dengan lingkungan di Indonesia. Yah,
walaupun sekarang di Indonesia juga mulai banyak kejadian seperti ini. Hmmm…
Ada pendapat lain? Apa jadinya dunia kalo the bystander effect ini terus berkelanjutan?
0 comments:
Post a Comment